Mengapa Kaviar Harganya Mahal? Ini Penjelasan Pakar

Ilustrasi caviar. (Foto: Pixabay)

Editor: M Kautsar - Rabu, 27 Januari 2021 | 16:45 WIB

SariAgri - Kaviar menjadi salah satu menu makanan yang kerao disajikan di restoran mewah. Di balik harganya yang fantastis, ternyata kaviar memiliki kandungan zat gizi makro dan mikro lengkap yang bermanfaat bagi tubuh.

Dosen IPB University dari Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Wini Trilaksani mengungkapkan, kaviar atau telur ikan pada umumnya dapat menjadi alternatif sumber pangan sebab kandungan gizinya yang cukup lengkap.

“Secara kemanfaatan gizi, kaviar memiliki makro nutrien yang cukup lengkap, kecuali karbohidrat. Kandungan proteinnya termasuk tinggi, 25 sampai 35 persen. Sementara proporsi lemaknya sekitar 12 bahkan sampai 15 persen dimana komposisinya didominasi oleh asam lemak tidak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid),” ujar Wini.

Wini melanjutkan, kandungan mikro nutrien pun tak kalah lengkap. Di dalam kaviar terdapat vitamin A, D, E, K serta vitamin B6 dan B12. Ditambah mineral mulai zink, besi, yodium, kalsium, magnesium, fosfor, selenium.

“Yang menarik dari kaviar ini dari rasanya yang beragam. Rasanya yang mirip mentega dan agak nutty membuat banyak orang ketagihan. Kaviar yang baik bisa dilihat dari aromanya. Jika sudah amis, bisa dipastikan sudah terjadi kemunduran mutu,” tuturnya.

Oleh sebab itu, kata Wini, dalam mengolah kaviar dari panen hingga tersedia di meja hidangan, butuh penangan khusus. 

Jika ikan pada umumnya saat panen dapat ditunggu atau disimpan terlebih dulu (dalam cold storage misalnya), tidak demikian dengan kaviar. Dalam proses panen, telur-telur ikan harus langsung ditangani, baik untuk langsung dikonsumsi atau dikemas secara kaleng.

“Telur ini kan spesial, begitu dipanen harus langsung ditangani. Dalam penanganannya juga ada treatment tertentu seperti di-curing. Yang paling banyak diberi air garam (brine) pada konsentrasi tertentu. Kandungan garam untuk kaviar yang termahal biasanya maksimal 3 persen.  Dalam proses pengalengannya ditambahkan beberapa zat termasuk asam sebagai pengawet. Ada pula dengan pasteurisasi. Sekarang ini dried dan frozen dengan treatment tertentu sudah mulai dikembangkan," kata dia.

Bagi masyarakat yang ingin mengonsumsi kaviar yang dikalengkan, dia menyarankan untuk segera langsung dikonsumsi agar tidak menurunkan mutunya. Sekali dibuka, kaviar harus dihabiskan.

Kemunduran mutunya sangat cepat serta tidak bisa disimpan kembali sebagaimana makanan kaleng lain. Catatan lainnya, sebagaimana telur-telur pada umumnya kandungan kolesterol pada kaviar cenderung tinggi. 

Bisa sampai 500-600 mg per seratus gram. Wini menyarankan agar porsi penyajiannya harus dibatasi. Sekarang ini sudah ada inovasi imitasi kaviar untuk vegetarian yang dibuat dari rumput laut.

Lantas mengapa harga kaviar sangat mahal? kaviar beluga misalnya, jenis yang paling mahal, bisa dijual seharga Rp35 juta per 250 gram.

Wini menerangkan, di alam bebas, ikan sturgeon termasuk ikan langka. Bahkan saat ini sudah termasuk spesies genting atau terancam (endangered) dan termasuk yang dilindungi sebab eksploitasinya cukup besar-besaran dari sejak dahulu.

“Secara alami, reproduksi ikan ini cukup sulit. Meski mampu menghasilkan telur dengan jumlah sangat besar, bahkan berat telurnya dapat mencapai sepertiga dari berat badannya, namun tidak semua bisa menetas. Hanya satu dua yang akan menetas menjadi anak sturgeon. Sementara ikan yang sudah ditangkap, tidak bisa dikembalikan lagi ke habitatnya,” terangnya.

Meski demikian, dengan kemajuan teknologi yang ada, Wini menyebut bahwa saat ini beberapa negara sudah mulai mengembangkan budi daya ikan langka ini. 

Budi daya ikan ini membutuhkan kesabaran karena membutuhkan teknologi khusus dan baru dapat menghasilkan telur pada umur 7-10 tahun, itupun hanya 10-20 persen dari populasi yang berhasil bertelur menghasilkan sekitar 15 -18 persen telur dari berat tubuhnya dengan monitoring perkembangan telur yang ketat menggunakan high frequency ultrasound. 

Ikan diusahakan dalam kondisi prima karena bila ikan stres maka akan me-reabsorb semua telurnya. Sementara untuk mengembalikan kondisinya untuk bisa bertelur kembali membutuhkan waktu paling cepat satu tahun.

Salah satu negara yang telah berhasil membudidayakan adalah Cina. Negeri Tirai Bambu itu bahkan menjadi penyuplai 30 persen kaviar dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurutnya, Indonesia memang tidak punya ikan jenis ini. 

Wini menyebut, kita bisa menciptakan dari sumber-sumber lain. Ada potensi telur ikan lain yang bisa dikembangkan, meski penamaannya bukan sebagai kaviar.

“Kita punya potensi ikan terbang, di air tawar juga ada ikan nilem atau melem (Osteochilus vittatus) yang secara ukuran telurnya cukup besar-besar dan lezat, tapi dagingnya kurang disukai oleh masyarakat. Dari segi rasa juga tentu berbeda dengan ikan laut. Ke depan perlu ada rekayasa genetika untuk menghasilkan lebih banyak ikan betina dengan cukup banyak dari segi kuantitas telur yang dihasilkan dan kandungan gizi telur itu sendiri,” jelasnya.