Indef: Wacana Kenaikan PPN Muncul di Tengah Pandemi Tidak Tepat

Ilustrasi bahan pokok (Pexels)

Editor: Arif Sodhiq - Kamis, 10 Juni 2021 | 19:20 WIB

SariAgri - Rencana pemerintah menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan mengenakan PPN pada sembako masih dalam kajian bersama legislator. Meski belum ada persetujuan atau kepastian pelaksanaannya namun rencana itu telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai rencana pemerintah itu tidak masuk akal dari sudut apapun.

“Saya yang heran itu kenapa wacana tersebut justru muncul dalam pembahasan revisi Undang-undang, itu menurut saya ajaib. Sebenarnya ada kepentingan politis apa di balik munculnya kegaduhan ini?" tanyanya saat dihubungi Sariagri.id, Kamis (10/6/2021).

[baca_juga]

Menurut dia, tambahan penerimaan negara yang berasal dari kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen tidak sebanding dengan jumlah penerimaan negara dari kegiatan konsumsi dan investasi.

Enny khawatir apabila tarif PPN dinaikkan dan dikenakan pada bahan pokok dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan konsumsi masyarakat yang nantinya menimbulkan multiplier effect negatif terhadap investasi.

“Efek negatifnya jauh lebih besar bisa menggerus daya beli yang akan menyebabkan multiplier effect negatif yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, menurunkan daya saing sehingga punya dampak negatif terhadap investasi,” tegasnya.

Sedangkan kontribusi dari kegiatan konsumsi dan investasi terhadap penerimaan negara jauh lebih besar bisa mencapai hampir 90 persen dari total pendapatan negara.

Pemulihan ekonomi di sektor riil, lanjut dia, seharusnya menjadi hal utama yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kontribusi PPN dalam penerimaan negara.

Enny menjelaskan dalam kebijakan fiskal ada dua yaitu bersifat ekspansif dan kebijakan bersifat kontraktif. Keduanya mempunyai kesesuaian yang kondisional.

Kebijakan fiskal yang bersifat kontraktif dilakukan pemerintah apabila kondisi ekonomi cenderung mengalami inflasi tinggi seperti menaikan pajak, menurunkan subsidi dan pengeluaran.

“Sementara kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif perlu dilakukan pemerintah ketika dalam kondisi pemulihan ekonomi seperti sekarang ini dengan berbagai relaksasi dan sebagainya,” katanya.

Enny menegaskan meski pemerintah berdalih rencana kenaikan PPN tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, hal itu tidak menjawab persoalan yang ada bahkan cenderung tidak menenangkan hati masyarakat.

Baca Juga: Indef: Wacana Kenaikan PPN Muncul di Tengah Pandemi Tidak Tepat
Rencana Penerapan PPN pada Sembako, Ini Penjelasan Staf Khusus Menkeu

“Saat ini masyarakat masih dalam kondisi was-was dan penuh ketidakpastian dan alibi seperti itu tidak menjawab persoalan dan tidak menentramkan hati masyarakat. Bukan hanya persoalan timing, tetapi kebutuhan kebijakan-kebijakan yang sifatnya teknis itu dibahas sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi,” pungkasnya.

Sebelumnya sembako atau bahan pokok tidak dikenakan PPN tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK 010/2017. Dalam Draf RUU perubahan kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang akan dibahas pemerintah bersama DPR terdapat daftar bahan pokok yang akan dikenakan tarif PPN antara lain beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayuran, umbi-umbian, bumbu dan gula konsumsi.

Video terkait: