Guna Efektivitas, CIPS Minta Peran Bulog di Rantai Pasok Beras Dievaluasi

Pekerja memeriksa stok beras di Gudang Perum Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta. (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)

Penulis: Yoyok, Editor: Arif Sodhiq - Kamis, 4 Maret 2021 | 14:50 WIB

SariAgri - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) meminta peran Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam rantai pasok beras perlu dievaluasi guna meningkatkan efektivitas perannya dan menciptakan pasar beras yang lebih sehat serta tidak rentan terhadap kenaikan harga. Selama ini, Bulog terlibat di tingkat hulu dan hilir dalam rantai pasok beras seperti yang ditetapkan oleh Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Pasal 3 ayat 2.

Kepala Penelitian CIPS, Felippa Ann Amanta, mengatakan masalah muncul karena di tingkat hulu, Bulog harus melakukan pengadaan beras dari petani. Tetapi kemudian Bulog mengalami kesulitan untuk mendistribusikan beras di pasar tingkat hilir. “Tidak seperti pihak swasta, Bulog harus membeli beras dengan semua tingkat kualitas dan menyimpan stok penyangga sebagai cadangan nasional di gudangnya,” kata Felippa di Jakarta, Kamis (4/3).

Felippa menambahkan, tugas menjaga stok penyangga nasional tanpa kebijakan yang jelas bagaimana distribusinya di tingkat hilir memiliki dampak jangka panjang untuk pengelolaan Bulog. Bulog menggunakan biaya pemerintah saat bersaing dengan pihak swasta dalam pengadaan beras. Penugasan untuk menjaga stok nasional memunculkan biaya tambahan. Sementara kualitas beras menurun, dan pembayaran bunga pinjaman bank semakin bertambah. Sudah terbukti bahwa pengaturan yang ada saat ini secara finansial tidak berkelanjutan untuk Bulog. Pada akhirnya, beban ada di pembayar pajak yang perlu menutup biaya distribusi beras.

“Mempertimbangkan kondisi tersebut, peran Bulog dalam rantai pasok beras perlu dipertimbangkan kembali. Bersaing dengan sektor swasta akan selalu membuat Bulog menjadi pihak yang merugi. Pihak swasta bisa menawarkan harga beras yang lebih tinggi kepada petani dan meminta kualitas beras yang lebih baik,” terang Felippa.

Dalam program bantuan pangan non-tunai (BPNT), pemerintah telah mengizinkan sektor swasta untuk berpartisipasi dan memberikan konsumen pilihan untuk membeli komoditas pangan yang dibeli dan didistribusikan sendiri. Ke depannya, sektor swasta dapat berkontribusi dalam rantai pasok reguler di pasar beras domestik dan Bulog harus berfokus pada distribusi beras untuk ketahanan pangan saat darurat, seperti bencana alam. Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Pasal 8 (poin c, d, dan e) juga perlu direvisi untuk membuka peluang bagi Bulog untuk fokus melindungi keluarga pra sejahtera melalui program bantuan bencana.

Prevalensi pelaku sektor swasta di rantai pasok beras Indonesia menyebabkan perubahan kegiatan rantai pasok dari Bulog ke sektor swasta dengan cepat dan tanpa penundaan. Mempelajari pengalaman negara-negara tetangga Indonesia di wilayah Asia Tenggara akan sangat berguna. Misalnya saja Vietnam yang sudah mengalihkan pengadaan dan distribusi beras domestik ke pihak swasta dan akhirnya sekarang Vietnam sudah menjadi eksportir beras utama di dunia.

Baca Juga: Guna Efektivitas, CIPS Minta Peran Bulog di Rantai Pasok Beras Dievaluasi
Perluas Pasar Beras Singkong, Bulog Jajaki Kerja Sama dengan Produsen

Terkait menjaga kestabilan harga beras, CIPS merekomendasikan perlunya melonggarkan berbagai pembatasan impor. Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong terciptanya persaingan dalam impor untuk memastikan importir dapat mengimpor saat harga beras global lebih murah. Ketika harga beras Indonesia jauh di atas harga pasar dunia, dibutuhkan solusi praktis jangka pendek untuk membuat beras lebih terjangkau bagi konsumen Indonesia. Pembatasan impor beras harus dilonggarkan dengan menghapuskan hambatan kuantitatif untuk impor beras Indonesia dan menghapus monopoli Bulog untuk mengimpor beras kualitas menengah seperti yang tertera di Permendag Nomor 103 Tahun 2015 pasal 9 (1.b).

“Beras impor lebih murah karena dijual secara global dengan harga yang lebih rendah dan di Indonesia prosesnya melewati fase distribusi yang lebih singkat. Beras impor adalah beras yang diolah, produk siap dimasak yang tidak membutuhkan pemotongan padi, tengkulak atau penggiling padi. Walaupun impor merupakan solusi jangka pendek, CIPS juga memandang upaya untuk meningkatkan produktivitas beras di dalam negeri juga perlu dilakukan di saat yang bersamaan,” terang Felippa.