Berita Pangan - Anggota Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Jawa Barat, Entang Sastraadmaja menilai kebijakan perhutanan sosial adalah lagu lama dengan istilah baru.
SariAgri - Anggota Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Jawa Barat, Entang Sastraadmaja menilai kebijakan perhutanan sosial adalah lagu lama dengan istilah baru.
"Kalau bicara tentang perhutanan sosial adalah poros baru ketahanan pangan sebetulnya lagu lama istilah baru," ujarnya dalam webinar Perhutanan Sosial Poros Baru Ketahanan Pangan di Indonesia, Selasa (23/2/2021).
Dia menjelaskan semangat pembangunan hutan untuk masyarakat sudah ada sebelum zaman reformasi saat Direktorat Perkebunan masih berada di bawah Kementerian Kehutanan.
"Jadi memang sejak zaman sebelum reformasi, pembangungan hutan untuk kemasyarakatan sudah menggebu-gebu. Jadi pada saat Ditjen Perkebunan digabung dengan Kemenhut saat itu ada Departemen Hutbun (kehutan dan perkebunan) pada saat itu kami sudah melihat sudah ada kebijakan-kebijakan dari Dirjenbun yang dijadikan upaya-upaya untuk membangun ketahanan pangan dalam sektor kehutanan," jelasnya.
Baca Juga: Teknologi Pertanian Pintar Dikembangkan untuk Tekan Biaya Produksi
10 Provinsi Penghasil Beras Terbesar di Indonesia - Berita Pangan
Dikatakan Entang, kebijakan tersebut tidak dapat dilanjutkan karena saat itu politik berubah dan Ditjen Perkebunan kembali ke Kementerian Kehutanan sehingga kebijakan tersebut tidak dapat dilanjutkan.
"Namun pada saat itu politik berubah sekali, kemudian Kementerian Kehutanan kembali melepas lagi Ditjen Perkebunan dan kembali ke Kementan maka kegiatan itu tidak berkembang seperti yang diharapkan," katanya.
Entang menjelaskan ketahanan pangan memang sangat erat kaitannya dengan upaya perhutanan sosial. Apalagi, saat ini ketahanan pangan Indonesia tengah dipergunjingkan lantaran indeksnya berada di bawah Euthiopia.
"Ketahanan pangan memang tidak bisa lepas kaitannya dari upaya perhutanan sosial. Kita paham betul ketahanan pangan di negara ini banyak dipergunjingkan. Apalagi setelah ada temuan atau kajian oleh rektor IPB, ketahanan pangan kita itu indeksnya berada di bawah Euthiopia," katanya.
"Pada tahun 80-an negara yang lapar, miskin karena waktu otu ada kekeringan dan terjadi perang saudra yang lama pada 84 kita beri sumbangan 100 ribu ton beras karena saat itu kita didaulat FAO sebagai negara swasembada beras. Nah, 37 tahun kemudian keberlanjutan pangannya justru lebih baik dari Indonesia," pungkasnya.