Kisah Pengalaman Pahit Jadi Petani Penangkar Benih Kedelai

Ilustrasi kedelai (Pixnio)

Penulis: Andry, Editor: Redaksi Sariagri - Rabu, 13 Januari 2021 | 14:00 WIB

SariAgri - Tingginya harga kedelai dalam beberapa minggu terakhir memberi gambaran sulitnya Indonesia untuk melakukan swasembada kedelai. Bukan saja hasil panen kedelai yang kadang kurang dihargai, kesulitan juga ditemui petani penangkar kedelai untuk benih.  

Salah satunya dialami Sartono, seorang petani di Desa Tanjung Jati, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat. Ia sudah menanam kedelai sejak masih muda dan tahun 2007 Sartono mulai jadi penangkar kedelai. Benih kedelai yang diproduksinya bahkan sudah berlabel dengan sertifikat dari Balai Pengawasan Sertifikasi Benih dengan distribusi hampir semua provinsi di Sumatera.

Baca Juga: Kisah Pengalaman Pahit Jadi Petani Penangkar Benih Kedelai
Harga Kedelai Tinggi, Pakar: Indonesia Perlu Kembangkan Komoditas Pengganti



Di desanya, ada 3 kelompok pembibit yang mengelola lahan secara sewa seluas 50 hektare dan bisa memproduksi benih kedelai sebanyak 60 hingga 100 ton per musim tanam. Untuk benih kedelai bersertifikat, dia menjual antara Rp 12.000 - Rp 13.000 per kilogram.

Permintaan benih, menurutnya banyak namun dia memiliki pengalaman terhadap ketersediaan benih yang membuatnya jatuh. Akhir tahun 2018 itu memang menjadi pengalaman pahit baginya.

Saat itu, Sartono memiliki stok benih kedelai 30 ton dirumahnya. Benih itu tidak dijualnya ke luar Sumut karena ada pihak yang datang ke rumahnya dan menyatakan bahwa kebutuhan benih di Sumut belum tercukupi, sehingga sebaiknya dia tetap menahan untuk dijual di Sumut.

"Orang itu datang ke rumah dan mengatakan, jangan dijual keluar karena untuk Sumut kurang. Simalungun perlu 90 ton, Tanah Karo 9,6 ton. Jadi saya tahanlah. Saya tunggu, ternyata hanya Karo yang ambil. Simalungun tidak, memang tidak ada perjanjian waktu itu. Tapi kedatangannya ke rumah itu meyakinkan saya," katanya.

Berita Pangan - Baca Juga: Perkenalkan Sorgum, Tanaman Pangan yang Tahan Terhadap Musim Kemarau
Pakar: Benih dengan Postur Tinggi Cocok untuk Lahan Rawa

Namun hingga akhirnya benih itu expired atau kadaluarsa, pembelinya menghilang. Dia sudah menghitung, benih itu harusnya dijual dengan Rp 13.000 per kilogram, terpaksa dijualnya Rp 5000 per kilogram untuk konsumsi.

Itu pun pembayarannya menunggu kedelai yang seharus jadi benih dibuat tempe atau tahu.

"Saya terpukul Rp 280 juta. Kalah saya. Saya pun bermasalah dengan itu akhirnya, karena itu benih bersertifikat," katanya.

Dia pun pasrah waktu itu jika harus dipenjara. Sartono sempat meminjam uang ke bank Rp 100 juta, namun jumlah itu tetap tidak akan cukup untuk membayar kepada petani yang kedelainya ia kumpulkan. Dari pengalaman itu, dia memutuskan untuk hanya menanam secara swadaya 2 hingga 3 hektare saja.

"Di saat kelangkaan semua nelpon saya. Saya mau nanam kalau ada jaminan tanggung jawab dan berani bayar kering panen Rp 7.000 per kilogram untuk konsumsi. Kalau berani bayar benih Rp 10.000, nggaklah saya bilang. Saya tak mau jadi korban lagi," katanya.

Dia pun mengusulkan kepada pemerintah, daripada memberi subsidi untuk benih dan pupuk lebih baik dialihkan pada subsidi produksi.

"Lebih baik subsidi ke hasil produksi. Tak usah benih dan pupuk. Kalau ambil Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kilogram, pasti petani berebut nanam. Kalau bibit dan pupuk, petani tak mau karena khawatir tiba panen tak ada yang tanggung jawab untuk beli," katanya.

Harga Pangan - Kisah Haru Gadis Cantik Yang Menginspirasi