Jika Food Estate Gagal, Sejarah Kelam Masa Lalu Bakal Terulang

Ilustrasi padi. (Foto: Unsplash)

Editor: Dera - Minggu, 11 Desember 2022 | 11:00 WIB

Sariagri - Proyek Food Estate yang digadang-gadang pemerintah sebagai salah satu terobosan dalam menjaga ketahanan pangan nasional menuai kritik pedas dari berbagai kalangan, terlebih ketika melihat sejarah kelam proyek lumbung pangan di masa lalu.

Sebelumnya pada 1995, Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare di masa kepemimpinan Presiden Soeharto berujung gagal dan diputuskan berakhir pada tahun 1998. Kegagalan tersebut dilatarbelakangi ketidakpahaman dan kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut.

Bahkan, proyek yang setidaknya menyedot APBN hingga Rp1,6 triliun itu kini sebagian wilayahnya justru berganti menjadi perkebunan sawit. Ironisnya, proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan.

Oleh karena itu, Organisasi masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) secara tegas meminta pemerintah untuk menghentikan proyek food estate yang dinilai hanya merugikan negara. Walhi menyebut proyek food estate di Kalimantan Tengah hanya memperparah kerusakan lingkungan.

"Pemerintah harus segera menghentikan program ini, juga lakukan evaluasi program yang telah berjalan. Selain memicu bencana ekologis program ini juga berdampak pada terjadi pemiskinan petani lokal,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Bayu Herinata dalam keterangan rilisnya yang dikutip Sariagri, Minggu (11/12/2022). 

Food Estate di Lahan Gambut Tak Efektif

Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan sangat penting bagi keseimbangan iklim dan perlindungan biodiversitas lahan basah, bahkan bisa menghindari sumber penyakit zoonosis yang berasal dari pengrusakan alam. 

Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menilai proyek lumbung pangan di lahan gambut bukanah solusi yang tepat dalam menjaga ketahanan pangan, lantaran menelan biaya produksi yang tinggi, namun keuntungannya sedikit.

"BRGM ini tidak hanya bekerja secara teori, memang yang namanya gambut kalau dikelola untuk tanaman pangan itu susah karena keasamannya sangat rendah," ujar Kepala Kelompok Kerja Sama Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM, Didy Wurjanto kepada Sariagri, Minggu (11/12/2022). 

"Kita itu punya demplot 250 hektare kami tanami padi gambut, karena memang itu daratan transmigran yang dulu merupakan bagian dari Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare zaman Presiden Soeharto. Nah kita banting tulang kerja keras, itu bisa tumbuh bagus, tapi biaya untuk menanam, menumbuhkan si padi gambut itu sangat tinggi sehingga hasil panen tidak cukup menguntungkan masyarakat," tambahnya. 

Lebih lanjut Didy membeberkan bahwa proyek food estate di lahan gambut sangat tidak efektif.

"Gambut itu harus ditanami memang tanaman yang tumbuh di gambut. Ini kan kita paksa untuk tanaman pangan food estate. Ya memang bisa tumbuh tapi biaya produksinya sangat tinggi, mulai dari pupuknya, insektisidanya, kapurnya untuk peningkatan Ph, dan lainnya," pungkas Didy. 

Senada dengan hal tersebut, Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta mengatakan bahwa program food estate seharusnya dikembalikan kepada petani terkait komoditas yang cocok ditanam di lahan wilayah mereka.

"Ini kan program peningkatan produksi yang dilaksanakan secara top-down dari negara, pemerintah yang menentukan ini butuhnya apa, misal beras yaudah bikin food estate padi, atau bawang putih yaudah bikin food estate bawang putih. Kalau ditarik benang merahnya itu yang bisa saya soroti ini sifatnya top-down dari atas, di mana satu daerah, satu lahan, ditunjuk untuk ditanam komoditas tertentu di situ," ungkap Aditya kepada Sariagri, Minggu (11/12/2022). 

"Pertama misal di Sumatera Selatan, komoditas yang ditetapkan itu dari Kementerian Pertanian, komoditas yang ditetapkan itu untuk ekspor, seperti kentang premium, bawang putih, bawang merah. Nah, yang saya dengar cuma berhasil sekali panen raya, kemungkinan itu penentuan komoditas dipaksaaan dari atas tidak sesuai apa yang ditanam petani di sana, mereka gak biasa dengan komoditas dari pemerintah," tambahnya. 

Baca Juga: Jika Food Estate Gagal, Sejarah Kelam Masa Lalu Bakal Terulang
Mampukah Food Estate Tangkal Krisis Pangan?

Menurutnya, pemerintah seharusnya melibatkan langsung petani lokal dalam menentukan komoditas apa yang akan ditanam di proyek food estate, atau mengembangkan komoditas yang sudah dibudidayakan sebelumnya oleh masyarakat setempat.  

Pemerintah juga harus belajar dari kesalahan proyek lumbung pangan pada masa pemerintahan sebelumnya, agar proyek food estate di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengulang kembali sejarah kelam di masa lalu.