CIPS: Proyek Food Estate Memperburuk Krisis Iklim

Petani demo di depan kantor Kementan tolak pembangunan Food estate. (Instagram SPI)

Editor: Yoyok - Selasa, 15 November 2022 | 20:45 WIB

Sariagri - Indonesia dalam KTT Iklim COP27 di Mesir kembali menegaskan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Namun, pemerintah masih meneruskan proyek food estate, yaitu proyek strategis nasional untuk mengatasi krisis pangan yang sebaliknya hanya akan memperburuk krisis iklim.

Di sela-sela COP 27, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan bahwa Indonesia dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) telah meningkatkan target penurunan emisi menjadi 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.

“Komitmen ENDC Indonesia memuat strategi mitigasi di sektor Forestry and Other Land Uses (FOLU) antara lain melalui restorasi hingga dua juta hektare lahan gambut tahun 2030, reforestasi dan rehabilitasi hutan. Namun proyek food estate malah mengambil 900.000 hektare di kawasan eks-pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah,” ujar Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian policy Studies (CIPS) Aditya Alta di Jakarta, Selasa (15/11/2022).

Alih guna lahan, terutama lahan gambut, merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia. Pengalaman juga sudah menunjukkan bahwa food estate, yang bahkan rencananya akan dibuka di daerah lain, berkali-kali gagal mencapai tujuan ketahanan pangan yang diinginkan dan malah berdampak negatif bagi masyarakat sekitarnya. 

Program yang penuh kontroversi ini digarap oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, dan kini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Kawasan lumbung pangan berambisi meningkatkan produksi domestik namun terbatas beberapa komoditas tertentu saja, yaitu beras, singkong untuk tepung mocaf, kentang bahan baku industri serta bawang merah dan bawang putih.

Padahal, kalau meninjau permasalahan ketahanan pangan yang dijadikan justifikasi lumbung pangan, keterjangkauan dan keragamanlah yang selama ini menjadi permasalahan, bukan ketersediaan. 

Global Food Security Index dari the Economist Intelligence Unit mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 37 dari 113 negara dalam kategori ketersediaan. Namun Indonesia juga menempati peringkat 54 dalam kategori keterjangkauan dan peringkat 95 dalam kategori kualitas dan keamanan yang termasuk di dalamnya keragaman pangan.

Indonesia juga disebut sudah mencapai swasembada dalam pengadaan beras dengan memenuhi sebagian besar kebutuhannya dari produksi dalam negeri.

Aditya mengingatkan bahwa program swasembada pangan yang mengandalkan perluasan lahan, terutama alih fungsi lahan hutan dan gambut, tidak efektif menjamin peningkatan produksi serta produktivitas pangan dan juga dapat merusak lingkungan serta memperparah krisis iklim.

Baca Juga: CIPS: Proyek Food Estate Memperburuk Krisis Iklim
Green Peace: Program Food Estate Mangkrak hingga Picu Perubahan Iklim

CIPS merekomendasikan peningkatan produktivitas komoditas pangan tanpa melalui ekstensifikasi lahan tetapi dengan investasi, mekanisasi dan adopsi teknologi pertanian, teknik budidaya yang baik, perluasan jaringan irigasi, serta mitigasi perubahan iklim dengan modifikasi cuaca.

Pemerintah juga harus memberikan dukungannya bagi riset dan inovasi, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian agar lebih produktif, termasuk melalui kerja sama pihak swasta.